LBH GPBI Advokasi 43 Warga Waetuno,kecamatan Wangi-Wangi provinsi Sulawesi Tenggara dalam Sengketa Tanah yang dikomodai oleh Ketua LBH Muhammad Fadhil.S.H,. Yang juga dihadiri oleh Bapak Binson Purba.S.H,. Selaku Sekretaris Jendral DPP GPBI : Soroti Dugaan Peradilan Sesat dan Ketidak objektifan Hakim
Wakatobi, 18 Maret 2025 – Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Pekerja Buruh Indonesia Raya (LBH GPBI), sayap buruh dari Partai Gerindra, saat ini tengah mengadvokasi 43 warga Waituno, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara dalam kasus sengketa tanah yang telah berproses hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Dalam proses hukum yang berjalan, LBH GPBI menemukan kejanggalan sejak tingkat pertama, banding, hingga kasasi. Putusan hakim di setiap tingkat seolah berat sebelah dan mengabaikan bukti-bukti kuat yang diajukan oleh warga. Hal ini menimbulkan dugaan adanya peradilan sesat dan ketidak objektifan dalam menangani perkara tersebut.
Dugaan Kejanggalan dalam Proses Peradilan
1. Hak Kepemilikan Warga yang Diabaikan
43 warga Waituno telah menempati tanah tersebut secara turun-temurun dari kakek nenek moyang mereka, dari sejak dahulu merupakan hak mereka yang di tempati sampai sekarang.
Hak atas tanah yang mereka tempati tidak diakui dalam putusan hakim, meskipun bukti sejarah dan penguasaan fisik dan lain-lainya telah diajukan.
2. Dasar Gugatan Penggugat Lemah, kabur dan Tidak Jelas
Penggugat mendalilkan bahwa 43 warga telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan dasar kepemilikan berupa sertifikat hak milik (SHM).
Namun, berdasarkan penelusuran LBH GPBI, sertifikat tersebut didasarkan pada klaim penguasaan fisik, padahal penggugat tidak pernah menempati tanah tersebut.
Lebih lanjut, penggugat mengklaim tanah tersebut berasal dari transaksi jual beli pada tahun 1963, tetapi:
Tidak disebutkan luas tanah serta batas-batasnya dalam dokumen jual beli .
Akta jual beli ditandatangani oleh seseorang bernama Laode Muharuddin, yang mengaku sebagai Camat pada tahun tersebut.
Fakta yang ditemukan LBH GPBI menunjukkan bahwa pada tahun 1963 wilayah kecamatan adalah Wandupa (wangi-wangi Kaledupa)yang Ibu Kotanya di Buranga dengan camat yang menjabat Pelda Infantri Abdul Rahim dan wakilnya Moi syarifuddin, yang sekarang sudah terpisah Wilayah Wangi-wangi dan Kaledupa.
3. Pemeriksaan Setempat yang Tidak Objektif
Dalam agenda pemeriksaan setempat, penggugat tidak dapat menunjukkan batas-batas tanah secara jelas.
Majelis hakim tidak melakukan penelusuran menyeluruh atas objek sengketa, termasuk batas-batas tanah yang disengketakan.
LBH GPBI akan Ambil Langkah Hukum Lanjutan.
Meskipun 43 warga kalah hingga tingkat kasasi, LBH GPBI tidak akan tinggal diam. Beberapa langkah hukum yang akan ditempuh antara lain:
1. Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas dasar kesalahan dalam pertimbangan hukum dan bukti baru yang menunjukkan cacat prosedur.
2. Melaporkan dugaan peradilan sesat dan ketidak objektifan hakim ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) untuk meminta evaluasi atas putusan yang telah dijatuhkan.
3. Mendorong investigasi terhadap penerbitan sertifikat tanah yang menjadi dasar gugatan, mengingat adanya ketidaksesuaian fakta sejarah dalam dokumen jual beli dan penerbitan sertifikat.
4. Mengadvokasi hak warga ke pemerintah daerah dan pusat, agar ada perlindungan terhadap hak tanah masyarakat adat yang telah ditempati secara turun-temurun.
LBH GPBI menilai bahwa putusan yang telah dijatuhkan dalam perkara ini tidak mencerminkan prinsip keadilan, terutama bagi warga yang telah menguasai tanah secara turun-temurun. Oleh karena itu, LBH GPBI akan terus mengawal kasus ini hingga ada kepastian hukum yang berpihak kepada keadilan bagi masyarakat.
Red